• Tutorial
    • D U N I A P E N D I D I K A N

      Senin, 04 Mei 2015

      MAKALAH KONTEKS DAN PENAFSIRAN WACANA

      BAB I
      PENDAHULUAN

      A.  Latar Belakang
      Wacana bersifat kontekstual, sebuah ujaran yang sama namun memiliki konteks yang berbeda akan menghasilkan dua wacana yang berbeda. Sebagai contoh adalah dua orang yang saling bercakap-cakap dalam status percakapan antar teman atau antar orang yang berstatus sama, setelah beberapa menit kemudian dapat menempatkan mereka dalam status yang berbeda seperti antara dokter dan pasiennya. Ciri berikutnya yaitu wacana didukung oleh subjek, hal ini berarti bahwa wacana selalu berkaitan dengan subjek. Biasanya subjek muncul menentukan siapa yang bertangggung jawab terhadap apa yang di ujarkan (Maingueneau, 1998:40-41)
      Wacana merupakan unsur kebahasaan yang relatif paling kompleks dan paling lengkap. Satuan pendukung kebahasaannya meliputi fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat paragraf, hingga karangan utuh. Tujuannya, tidak lain, untuk membekali pemakai bahasa agar dapat memahami dan memakai bahasa dengan baik dan benar.
      Kajian wacana berkaitan dengan pemahaman tentang tindakan manusia yang dilakukan dengan bahasa (verbal) dan bukan bahasa (nonverbal). Hal ini menunjukkan, bahwa untuk memahami wacana dengan baik dan tepat, diperlukan bekal bekal pengetahuan kebahasaan, dan bukan kebahasaan (umum). Pernyataan itu mengisyaratkan, betapa luas runag lingkup yang harus ditelusuri dalam kajian wacana (Soenjono Dardjowidjojo, 1986:108).

      B.  Rumusan Masalah
      1.      Apa dan bagaimana lingkung wacana?
      2.      Apa dan bagaimana prinsip-prinsip wacana?
      C.  Tujuan
      1.      Untuk mengetahui dan menjelaskan lingkung wacana.
      2.      Untuk mengetahui dan menjelaskan prinsip-prinsip wacana.
      BAB II
      PEMBAHASAN
      A.  Lingkung Wacana
      Berbicara mengenai lingkung sebenarnya tidak terlepas dengan nas itu sendiri. Nas dan lingkung merupakan dua proses yang bersamaan (Halliday, 1992). Lebih jauh ia juga mengatakan bahwa ada nas dan ada nas lain yang menyertainya. Nas yang menyertai nas itu disebut lingkung. Pengertian hal yang menyertai nas itu meliputi ujaran lisan dan tulisan serta kejadian-kajadian nirkata yang terdapat di lungkungan nas.
      Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa lingkung wacana dapat dikelompokkan atas dua bagian yakni lingkung eksternal dan internal. Lingkung eksternal meliputi lingkung situasi dan lingkung budaya, sedangkan lingkung internal adalah lingkung yang gayut dengan rangkain ujaran baik lisan maupun tulisan.

      a.      Lingkung Situasi
      semua pemakaian bahasa mempunyai lingkung. Maksud lingkung situasi disini adalah tempat nas itu benar-benar berfungsi. Lingkung situasi ini sebenarnya berkaitana erat dengan pemakaian bahasa secara pragmatis. Secara tegas dinyatakan bahwa pemahaman makna pesan akan dapat dipahami dengan baik mana kala kita memahami lingkung ujaran. Dalam kaitannya dengan hal ini, Brown dan Yule (1996) memberikan beberapa istilah yang perlu di perhatikan penganalisis wacana dalam menafsirkan wacana berdasarkan hubungan antara penutur dan ujaran. Ada empat istilah yang diberikan. Istilah tersebut diuraikan sebagai berikut:
      1.      Referensi
      Pandangan semantik tradisional mengemukakan bahwa referensi merupakan hubungan antara kata-kata dan barang-barang; kata-kata yang mengacu pada (refer to) barang-barang (Lyons,1968).
      Istilah referensi dalam hal ini adalah ferensi kewacanaan. Menurut Samsuri (1987:57) dalam semantik formal yang dirujuk mesti benar, sedangkan dalam wacana apa yang dimaksud oleh pembicara dan penulis, tepatnya referensi yang berhasil (lihat Lyons, 1981). Untuk itu tujuan memahami amanat bahasa yang sedang berlaku, referensi yang berhasil bergantung pada pengenalan atau identifikasi pendengar akan referensi yang dimaksud oleh pembicara berdasarkan ungkapan yang dipakai untuk mengacunya.

      2.      Praanggapan
      Praanggapan menurut Stalnaker (1978:321) merupakan pengertahuna bersama (common ground) anatara pembaca dan pendengar sehingga tidak perlu diutarakan. Sumber praanggapan adalah pembicara. Pembicaralah yang berpraanggapan bahwa pendengar memahami apa yang di praanggaapkan.
      Contoh (53)
      A: Paman saya datang dari Padang pagi tadi.
      B: Berapa lama ia akan tinggal disini?
      A: oh, saya belum tau.
      Pada penggalan pada percakapan diatas, penutur A memperlakukan informasi bahwa ia mempunyai seorang paman, sebagai praanggapan dari penutur B. Hal ini terlihat dari ujaran pertanyaan “ Berapa lama ia akan tinggal disini?” B telah menerima praanggapan itu. Hal ini sesuaia dengan pendapat (Givon dalam Brown dan Yule, 1996) bahwa praanggapan yang diperlukan dalam analisis wacana adalah praanggapan pragmatis. Pembicara menyampaikan informasi yang kemungkinan besar akan dipahami oleh pendengar tanpa menemui kendala.

      3.      Implikatur
      Implikatur yang diutarakan oleh Grice (1975) dimaksudkan sebagai ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebernya diucapkan. Lebih rinci dikata dengan apa yang mungkin diartikan, disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur berbeda dengan apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur.
      Implikatur dapat dibedakan atas dua katagori yakni implikatur konvensional dan implikatur percakapan. Implikatur konvensional merupakan yang ditentukan oleh arti konvensional kata-kata yang dipakai. Pada contoh (53) berikut, penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa suatu ciri (ramah) disebabkan oleh ciri lain (jadi orang Indonesia), tetapi bentuk ungkapan yang dipakai secara konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti ada. Makna dalam implikatur konvensional telah menjadi konvensi bersama. Hal ini berarti implikatur yang terdapat dalam sebuah tuturan sudah menjadi pengetahuan umum. Misalnya orang Indonesia dikenal ramah, orang Banten dan orang Aceh dikenal sebagai orang keras dan berani. Implikatur tidak perlu dinyatakan dalam tuturan.
      Contoh (55)
      a.       Wisatawan manca negara tidak perlu ragu berkunjung ke Indonesia. Semuanya akan aman dan menyenangkan.
      b.      Orang sini tampaknya masih perlu mendapatkan pelajaran. Apa tidak tahu kalau orang Banten.
      Implikatur percakapan adalah implikatur yang timbul dari nas percakapan. Implikatur itu dimaksudkan oleh penutur dengan tuturan dalam nas percakapan. Makna ujaran ditangkap oleh mitra tutur dari nas percakapan itu. Karena implikatur percakapan itu didasarkan pada nas percakapan, kepekaan partisipan tutur terhadap mauatan implikatur sangat diperlukan. Hal ini sangat penting agar hubungan antar tuturan dalam percakapan menjadi wajar.
                  Contoh (56)
                  A: Ada Bentoel?
                  B: Mau beli berapa?
                              Kalimat yang ditutur oleh A memberikan implikatur bahwa A mau membeli rokok dan kalimat yang dituturkan B memberikan implikatur bahwa di tempat A berjualan rokok. Dengan penfsiran itu, kalimat A dan kalimat B tampak berhubungan secara wajar.
         Sehubungan dengan saran-saran Grice mengenai bagaimana istilah implikatur yang dipakai dalam analisis wacana Brown dan Yule (1996) menyatakan bahwa implikatur adalah segi-segi pragmatis arti dan mempunyai ciri-ciri tertentu yang dapat diidentifikasikan.
      4.      Inferensi
      Inferensi merupakan simpulan yang terungkap dari sebuah wacana baik lisan maupun tulis.
      Contoh (57)
      a.       Dikota kelahirannya, bahkan dinegaranya, Caves dipuja-puja bak pahlawan. Dia petinju juaru dunia yang rendah hati. Dikalangan orang miskin dia dikenal sebagai dermawan. Karena itu, Caves, dikenal sebagai petinju yang tidak punya musuh diluar ring.
      b.      Sebagai suami dan bapak, Didi tidak pernah berlaku kasar baik kepada istrinya maupun kepada kedua anaknya. Berkata-kata kasarpun tidak pernha. Dia sangat memperhatikan istri dan anak-anaknya.
      c.       Tanggal tua seperti ini repot sekali, Pak. Gaji bulan lalu sudah habis, istri tidak bisa bekerja, dan anak-anak pada sakit. Yang paling berat yang bungsu Pak. Panas dia naik turun terus  selama empat hari. Saya tidak tahu apa yang harus saya perbuat.
      Inferensi apa yang dapat ditarik dari setiap wacan tersebut berdasarkan wacana contoh (a) dapat ditarik inferensi bahwa Caves adalah petinju yang baik, dan berdasarkan contoh (b) dapat ditarik inferensinya bahwa Didi adalah seorang suami dan seorang Bapak yang baik. Pada contoh ujaran (c) mengandung makna bahwa seseorang berkunjung kepada tempat orang lain dengan harapan untuk mendapatkan pinjaman uang. Sebenarnya penggalan wacana itu tidak ada pernyataan bahwa orang itu mau meminjam uang. Namun, sebagai pesapa kita dapat mengambil inferensi apa yang dimaksudnya.
                  Dalam analisis wacana sering apa yang disampaikan oleh penutur tidak dapat secara langsung dipahami oleh pendengar. Untuk itu tuturan yang diucapkan harus dipahami dengan menarik hubungan vertikal antarpartisipan.
                  Selain lingkung yang telah dikemukakan diatas ada beberapa jenis lingkung yang lain yang turut menentukan sebuah wacana yaitu waktu, tempat, adegan, peristiwa, bentuk amanat, kode dan saluran. Unsur-unsur tersebut pernah dikemukakan oleh Hymes (1974) dengan istilah yang dikenal dengan SPEAKING, yang masing-masing fonemnya merupakan faktor yang dimaksudkan. Secara meluas istilah ini diuraikan berikut ini.
      S : Setting atau Scene yaitu tempat bicara dan susunan bicara (ruang diskusi dan suasana diskusi/tempat dan suasana percakapan lain). Misalnya percakapan di kampus Unib pada pukul 08:00 yang menghasilkan wacana antar lain:
                Yeyef  : Selamat pagi Bu!
                Iyam    : Selamat pagi.
                Yeyef  : Mau kuliah, Bu?
                Iyam    : ya, sudah terlambat ni, mari!

      P : partisipan yakni pembicara, lawan bicara, dan pendengar, misalnya antara Yeyef dengan Iyam pada contoh percakapan di atas, keduanya adalah peserta percakapan. Partisipan dalam suatu interaksi biasanya juga dipengaruhi oleh status sosial mereka masing-masing, hubungan mereka secara pribadi maupun dinas. Sebagai contoh dapat diperhatikan contoh berikut ini.
      a.       Jangan ribut ya, di sini ada ujian.
      b.      Pangsit satum kerupuk satu, dan es teh.
      c.       Meja bundar diatur didepan, yang panjang di samping dan belakang. Jangan lupa memasang taplak meja, yang berenda di depan lainya di belakang.
      d.      Maaf Pak, saya kemarin tidak dapat kuliah. Ibu saya baru masuk rumah sakit.

      Contoh ujaran di atas bila kita perhatikan secara seksama, memberikan gambaran perbedaan partisipan tutur antara ujaran satu dengan ujaran lainnya. Ujaran (a) disampaikan oleh seorang guru kepada muridnya di sekolah. Berdasarkan diksi yang digunakan ujaran itu terjadi di sekolah dasar. Ujaran (b) merupakan transaksi yang terjadi diwarung pangsit. Penutur (pembeli) menyampaikan pada penjual tentang makanan yang telah dimakannya. Walaupun tidak tampak ujaran penjual, tetapi terjadi komunikasi antara keduannya. Ujaran (c) disampaikan oleh seorang ketua atau pemimpin baik dalam institusi maupun organisasi kepada para pegawai atau anggotany yang sedang menata meja kursi untuk suatu pesta perpisahan. Ujaran (d) disampaikan oelh seorang mahasiswi kepada dosennya. Bentuk bahasa, cara penyampaiannya dipahami sesuai dengan siapa peserta ujarannya bagaimana hubungan mereka dan sebagainya.
      E : End atau tujuan yakni tujuan akhir diskusi (kegiatan). Misalnya seseorang pengajar bertujuan memberikan pelajaran yang menarik kepada parapembelajar itu sendiri. Topik yang menarik belum tentu hasilnya baik, karena sangat bergantung pada kesesuaian tujuan dengan keinginan pembelajar.
      A : Act yakni suatu peristiwa dimana seseorang pembicara sedang menggunakan kesempatan bicaranya.
      K : Key yakni nada suara dan ragam bahasa yang dipergunakan dalam menyampaikan pendapat dan cara mengemukakan pendapat. Hal ini berwujud pada saat penutur menyampaikan ujaran dengan cara bersemangat, dengan santai, atau tenang keyakinkan.
      I : Instrumen yakni alat untuk menyampaikan pendapat. Misalnya secara lisan, tertulis,lewat telepon.
      N : Norma yakni aturan permainan yang mesti ditaati oleh peserta. Norma ini mengacu pada prilaku peserta percakapan. Misalnya, diskusi yang cendrung dua arah, masing-masing peserta memberikan tanggapan (argumentasi), sedangkan kuliah cendrung satu arah meskipun diberikan kesempatan bertanya. Dengan demikian ada norma diskusi dan ada norma kuliah.
      G : Genre yakni jenis kegiatan diskusi yang mempunyai sifat-sifat lain dari kegiatan lain, wacana sajak, wacana iklan, wacana teka-teki, semuanya menunjukkan ragam yang berbeda-beda.
                  Lingkung pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu, (1) lingkung fisik (physical context) yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu dan tindakan atau prilaku dari para peran dalam peristiwa komunikasi itu. (2) lingkung epistemis (epiestemic context) atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh pembicara maupun pendengar; (3) lingkung linguistik (linguistics context) yang terdiri kalimat-kalimat atau tuturan yang mendahului suatu kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi.  (4) lingkung sosial (social context) yaitu relasi sosial dan latar seting yang melengkapi hubungan antara pembicara (penutur) dengan pendengar. (Syafi’ie, 1990:126)
                  Dalam bukunya yang lain Hymes (1964) mencatat tentang ciri-ciri lingkung yang relevan adalah.
      1)      Advesser (pembicara)
      2)      Advessee (pendengar)
      3)      Topik pembicara setting (waktu dan tempat)
      4)      Channel (penghubung, bahasa lisan, tulis dsb)
      5)      Code (dialeknya, stylenya)
      6)      Massage from ( debat, diskusi, seremoni agama)
      7)      Event (kejadian)
      (Gillian Brown 1996)
      Selain uraian di atas, konteks situasi dalam wacana juga dikemukakan oleh Halliday dengan istilah-istilah yang berbeda. Ada tiga kerangka konseptual lingkung situasi yang dikemukakakn oleh Halliday tersebut.
      1.      Medan Wacana menunjukkan pada hal yang sedang tejadi, pada sifat tindakan sosial yang sedang berlangsung: apa yang sesungguhnya yang sedang disibukkan oleh para pelibat, yang didalamnya bahasa ikut serta sebagai unsur pokok tertentu.
      2.      Pelibat Wacana menunjukkan pada orang-orang yang mengambil bagian, pada sifat para pelibat, kedudukan dan peranan mereka: jenis hubungan peranan apa yang terdapat diantara pelibat, termasuk hubungan-hubungan tetap dan sementara, baik jenis peranan tuturan yang mereka lakukan dalm percakapan maupun rangkaian keseluruhan hubungan-hubungan yang secara kelompok mempunyai arti penting yang melibatkan mereka,
      3.      Sarana Wacana menujukkan pada bagian yang diperankan oleh bahasa, hal yang diharapkan oleh para pelibat diperankan bahasa dalam situasi itu; organisasi simbolik teks, kedudukan yang dimilikinya, dan fungsi dalam konteks, termasuk saluran (lisan, tulisan, atau gabungan) dan juga moderetoriknya, yaitu apa yang akan dicapai teks berkenaan dengan pokok pengertian seperti bersifat membujuk, menjelaskan, mendidik, dan sebagainya.
      b.      Lingkung Budaya
           Bagaimanapun juga lingkungan situasi hanya merupakan lingkungan yang langsung. Masih ada latar belakang lebih luas yang harus diacu dalam menafsirkan sebuah wacana, yaitu lingkungan budaya. Setiap lingkungan situasi yang sebenarnya, susunan medan tertentu, pelibat, dan sarana yang telah membentuk nas itu, bukanlah suatu ciri kumpulan yang acak, melainkan suatu keutuhan (sebagai suatu paket) yang secara khas bergandengan dalam satu budaya.orang melakukan hal tertentu pada kesempatan tertentu dan memberinya makana dan nilai inilah yang dimaksud dengan kebudayaan.
      Sekolah meruakan contoh yang bagus tentang hal yang dalm jargon masa kini dapat disebut sebagai suatu pertemuan antara konteks situasi dan konteks budaya. Di sekolah setiap ujaran guru di ruang kelas, catatan atau karangan pelajar, bacaan dari buku teks selalu mempunyai lingkungan situasi; pelajaran dalam konsepnya apa yang harus dicapai; hubungan guru dengan murid, atau penulis buku teks dengan pembaca, dan sebagainya. Semua contoh ini merupakan contoh yang diambil dari sekolah, yang maknanya juga bersumber dari sekolah, sebagai suatu lembaga dalam suatu budaya. Konsep pendidikan dan konsep pengetahuan kependidikan yang berlainan dengan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman dan semua yang terlibat dalam aktivitas sekolah.
      Semua faktor itu membentuk lingkungan budaya, dan secara bersama menentukan penafsiran nas dalam lingkungan situasinya. Demikian juga sebagai guru, ketika kita berdiri di depan kelas dan berbicara, atau ketika kita memberikan tugas kepada murid seperti menulis laporan atau karangan, atau ketika kita menilai penampilan mereka dalam tugas-tugas, perlu diketahui dengan baik apa yang kita prakirakan.
      c.       Ko-Teks
      Sejauh ini pembicaraan kita berpusat terutama pada lingkungan fisik yang disemati ujaran-ujaran tunggal dan lebih sedikit perhatian yang diberikan kepada koordinat wacana terlebih dahulu. Lewis memasukkan koordinat ini untuk mempertimbangkan kalimat-kalimat yang mengandung referensi khusus kepada yang disebut sebelumnya pada frase-frase. Akan tetapi, sebenarnya setiap kalimat selain yang pertama pada penggalan wacana, seluruh tafsirannya secara paksa akan dibatasi oleh nas sebelumnya, tidak hanya frase-frase yang dengan jelas dan khusus mengacu pada nas sebelumnya. Apa yang telah diperikan ini dikenal dengan ko-teks. Maksudnya penafsiran wacana dapat melihat hubungan unsur-unsur dalam wacana secara leksikal.
      Untuk saat ini, hal penting yang perlu kami kemukakan adalah menegaskan kekuatan ko-teks dalam membatasi penafsiran. Bahkan, dengan tidak adanya informasi mengenai tempat dan waktu pada ujaran yang asli, bahkan dengan tidak adanya informasi mengenai penutur/penulis dan penerima yang dimaksudkannya, sering kali mungkin untuk merekonstruksikan sekurang-kurangnya bagian tertentu dari lingkungan fisiknya dan kemudian sampai pada suatu tafsiran mengenai nasnya. Makin banyak ada ko-teksnya, pada umumnya makin kuat tafsirannya. Teks mencitakn ko-teksnya sendiri.

      B.     Prinsip-Prinsip Wacana
      1.      Prinsip Lokalitas
      Prinsip lokalitas memberikan tuntutan kepada pendengar, pembaca atau analis wacana untuk tidak menciptakan konteks yang lebih luas dari yang diperlukan agar dapat diperoleh interprestasi yang paling mendekati maksud aslinya yang diberikan oleh penyampai.
      Prinsip lokalitas mengharuskan pendengar untuk melihat lingkungan yang terdekat. Apabila pendengar diperintah duduk, dia harus mencari kursi yang terdekat. Demikian pula orang yang disuruh menyalakan lampu kamar tamu, tentunya yang dimaksud ‘kamar tamu di rumah orang itu berada pada waktu ia diajak bicara’

      2.      Prinsip Analogi
      Prinsip analogi mengharuskan pendengar atau pembaca menginterpretasikan suatu nas seperti yang telah diketahui sebelumnya kecuali apabila ada pemberitahuan sebagian dari nas tersebut diubah. Disuatu tempat yang terpencil misalnya, terdapat seorang penjual bensin, bensin campur solar. Seorang pembeli bensin campur tentunya berdasarkan analogi dari pengalaman sebelumnya mengetahui bahwa penjual oli tersebut menjual bensin bercampur oli.

      Suatu wacana ditafsirkan dengan mengingat wacana lain yang semacam yang sudah pernah diketahui oleh pendengar dengan cara analogi. Pengalaman masa lalu yang relevan, bersama dengan prinsip lokalitas, akan mendorong analis berusaha menginterpretasikan sederetan kalimat dalam wacana diatas sebagai hubungan satu sama lain dalam satu lingkungan 
      u
      g
      a
      G
      h
      t
      e
      b
      O